TANYAFAKTA.ID Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, beberapa waktu lalu menerapkan tarif baru secara luas yang berdampak pada berbagai produk dari banyak negara.

Di antara tarif yang diberlakukan antara lain: tarif dasar sebesar 10% untuk mitra dagang, 25% untuk mobil-mobil impor, serta tarif resiprokal (reciprocal tariff), yaitu kebijakan perdagangan di mana suatu negara menetapkan bea masuk terhadap produk negara lain yang setara dengan tarif yang dikenakan oleh negara tersebut terhadap produk dari negara pertama. Kebijakan ini diterapkan untuk paling sedikit 50 negara, dengan besaran tarif yang dapat mencapai hampir 50%.

Kebijakan seperti ini umumnya direspons dengan kebijakan subsidi untuk barang-barang ekspor, pengenaan bea masuk anti-dumping, negosiasi dagang, dan langkah-langkah lainnya.

Bagaimana Perkiraan Dampak Kebijakan Tarif Ini Terhadap Sektor Pariwisata?

Kebijakan tarif baru Trump (Trump’s New Tariff) tentu saja memiliki dampak tidak langsung terhadap sektor pariwisata. Kenaikan harga dan ongkos-ongkos operasional dapat menurunkan propensity to travel (kecenderungan untuk bepergian), consumer confidence (kepercayaan konsumen), serta menyebabkan kegagalan rencana perjalanan (disrupting travel).

Baca juga:  Status Organisasi dalam Pengembangan Sosial di Lingkup Mahasiswa

Ini juga dapat memicu perubahan perilaku para pelaku perjalanan serta mempengaruhi sentimen ekonomi secara umum—meskipun kebijakan tarif ini tidak langsung dikenakan terhadap tiket pesawat, tarif kamar hotel, maupun paket perjalanan wisata.

Efek berantai (knock-on effects) dari kebijakan tarif Trump cukup signifikan dalam mendorong kenaikan harga barang dan jasa. Kenaikan ini berdampak pada menurunnya kecenderungan orang untuk melakukan perjalanan (propensity to travel), serta penurunan Tingkat Penghunian Kamar (TPK) secara berkelanjutan (ad infinitum).

Destinasi wisata menjadi terasa mahal, terutama bagi wisatawan domestik Indonesia yang sangat peka terhadap harga (price sensitive) dan sangat mempertimbangkan faktor harga dalam memilih destinasi.

Perkiraan Dampak Terhadap Hotel

Selain menurunnya Tingkat Penghunian Kamar (TPK), para pelaku usaha perhotelan juga akan menghadapi pembengkakan biaya di dua sektor utama: biaya konstruksi baru serta biaya untuk fixtures dan equipment.

Baca juga:  Pidato Prabowo Subianto dan Pemberontakan Mahasiswa

Tarif tinggi yang dikenakan terhadap bahan bangunan seperti baja akan menyebabkan lonjakan biaya konstruksi. Skift Research dalam laporan US Hotel Supply Outlook mencatat bahwa akan terjadi perlambatan pembangunan hotel baru pada tahun 2025.

Strategi Menghadapi Krisis

Dalam situasi krisis seperti ini, pihak hotel maupun pelaku industri pariwisata lainnya perlu memahami bahwa biasanya akan terjadi pergeseran pola pergerakan wisatawan, seperti yang terjadi pada masa pandemi COVID-19. Misalnya, pergeseran dari perjalanan jarak jauh (long-haul) ke jarak dekat (short-haul), atau dari pasar domestik ke lokal sebagai pasar sekunder.

Karena itu, penting untuk tetap memberikan harga yang sesuai dengan kualitas, menciptakan kreativitas dan inovasi produk, serta menambah nilai tambah layanan—contohnya, menyediakan trolley untuk anak balita di lobi hotel. Upayakan penggunaan produk lokal sebisa mungkin, terus menjaga hubungan baik dengan tamu, serta menyosialisasikan kenaikan harga jauh hari sebelumnya.

Baca juga:  Pertumbuhan Ekonomi Jambi terus Merosot, Kemiskinan Meningkat dan Pengangguran Bertambah

Selanjutnya, seluruh sumber daya manusia (SDM) di industri ini harus beretika dalam promosi dan berperilaku berkelanjutan (sustainable) guna meningkatkan daya saing usaha.

Akhirnya, industri pariwisata harus tetap optimistis, seperti yang dikatakan Chris Hemmeter, Managing Director dari Thayer Ventures, sebuah dana investasi besar di bidang perjalanan dan perhotelan berbasis di AS:
“Short term is uncertain, but long term is not.”

Penulis: Tamrin B. Bachri
– Alumnus Departemen Hospitality & Tourism, University of Wisconsin, USA
– Tenaga Ahli Gubernur Jambi bidang Pariwisata