TANYAFAKTA.ID – Pemerintah mengubah ketentuan mengenai penawaran hak partisipasi atau participating interest (PI) 10% pada wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas). Perubahan itu dituangkan lewat Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2025 bertujuan memperjelas dan mempercepat implementasi PI yang diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Perubahan ini diharapkan bisa mendorong pendapatan dari sektor migas lebih merata ke daerah-daerah penghasil migas, sekaligus melecut peran aktif BUMD dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya.

Bicara soal Participating Interest ini bukan hal baru dalam pengelolaan industri hulu migas, hal ini amanat legislasi mengenai pengusahaan migas Indonesia. Amanat yang harus diperjuangkan oleh pemerintah daerah.

Pengalihan PI dipandang sebagai salah satu jalan keadilan fiskal bagi daerah dengan keterbukaan data lifting migas bagi daerah. Sehingga pemerintah daerah dapat melakukan perencanaan anggaran yang lebih tepat berdasarkan perkiraan dana bagi hasil (DBH) yang lebih akurat.

Selain itu bagi daerah pengalihan PI juga dipandang sebagai kesempatan alih pengetahuan dan teknologi serta bisnis proses industri migas kepada daerah.

Partisipasi daerah dalam pengelolaan industri migas ini harus padat modal sehingga dapat mengarahkan perekonomian daerah melalui efek beruntun dari industri migas.

Menelisik tujuan utama PI sebagai sumber pendapatan baru dari hasil dividen usaha pengelolaan hulu migas yang disetorkan melalui BUMD.

Baca juga:  Pemangkasan Anggaran Pendidikan: Dampak dan Potensi Risiko

Sebelumnya, Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) terus berupaya mendorong pengalihan Participating Interest (PI) melalui badan usaha milik daerah (BUMD) untuk calon penerima PI 10 persen.

Keterlibatan BUMD dalam pengelolaan industri migas ini akan menjadi sumber pertumbuhan baru ekonomi di tiap-tiap daerah.

Terdapat sejumlah perubahan terkait bentuk BUMD yang mengelola PI 10% blok migas. Salah satunya, BUMD didefinisikan sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah. Adapun dalam aturan sebelumnya, Permen ESDM No. 37 Tahun 2016 mendefinisikan perusahaan perseroan daerah merupakan badan usaha berbentuk perseroan terbatas yang dibentuk oleh BUMD yang modalnya terbagi dalam saham yang dimiliki seluruhnya oleh pemerintah daerah secara langsung maupun tidak langsung.

Perubahan ini diharapkan bisa mendukung proses percepatan yang ada dan manfaat bagi daerah dalam pendanaan APBD serta investasi hulu migas yang kondusif. Memberikan kepastian lebih besar bagi BUMD yang terlibat dalam pengelolaan blok migas di wilayah masing-masing.

Karena tiga poin utama revisi aturan tersebut, yakni kepemilikan penuh oleh BUMD, satu BUMD per wilayah kerja, dan pembagian persentase kepemilikan dalam kasus cross-border reservoir.

Baca juga:  Lakon Ironi: Ketika Pendidikan Dipangkas Demi Ilusi Prioritas

Permen ini menegaskan PI 10% harus sepenuhnya dimiliki oleh BUMD tanpa ada keterlibatan pihak swasta. Tujuannya adalah memastikan manfaat langsung diterima oleh daerah. Kemudian, setiap wilayah kerja hanya boleh dikelola oleh satu BUMD, meskipun terdapat lebih dari satu blok migas di dalam wilayah tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah tumpang tindih kepemilikan dan pengelolaan PI.

Dengan adanya PI, diharapkan daerah dapat lebih aktif dalam pengelolaan dan pengawasan kegiatan migas, serta mendapatkan pendapatan yang lebih besar dari sektor ini. Disamping itu ada beberapa persoalan bagi daerah dalam mewujudkan PI antara lain :

Pertama, Proses pengaturan dan perizinan yang kompleks seringkali menjadi penghalang bagi daerah untuk mendapatkan PI. Banyak daerah yang tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai regulasi yang berlaku.

Kedua, Keterbatasan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia di tingkat daerah dalam mengelola PI menjadi kendala. Banyak daerah yang belum memiliki tim yang terlatih untuk menangani aspek teknis dan manajerial dari PI.

Ketiga, Keterbatasan Modal: Daerah sering kali menghadapi kendala dalam hal pendanaan untuk berinvestasi dalam PI. Tanpa dukungan finansial yang memadai, daerah sulit untuk berpartisipasi secara aktif.

Ke empat, Ketidakpastian Kebijakan: Perubahan kebijakan yang sering terjadi di tingkat pusat dapat menciptakan ketidakpastian bagi daerah dalam berinvestasi dan berpartisipasi dalam sektor migas.

Baca juga:  Normalisasi Mantan Narapidana Korupsi dalam Tim Pemenangan Alharis-Sani: Ancaman Bagi Masa Depan Politik Jambi

Kelima, Konflik Kepentingan: Terdapat potensi konflik antara kepentingan pemerintah daerah dan perusahaan migas, yang dapat menghambat kerjasama yang efektif.

Perlu Keterbukaan

Selain itu masalah keterbukaan informasi mengenai potensi sumber daya migas, regulasi, dan peluang investasi sangat penting. Pemerintah pusat dan daerah perlu menyediakan data yang akurat dan mudah diakses oleh masyarakat dan investor.

Dalam hal ini membangun komunikasi yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perusahaan migas sangat penting untuk menciptakan sinergi dalam pengelolaan PI. Forum diskusi dan kerjasama dapat membantu mengatasi perbedaan pandangan dan kepentingan.

Selain itu tantangan, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di daerah melalui program pendidikan dan pelatihan terkait pengelolaan migas dan PI. Ini akan membantu daerah untuk lebih siap dalam berpartisipasi.

Intinya, Percepatan Participating Interest (PI) di daerah memerlukan kerjasama yang erat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perusahaan migas. Dengan mengatasi kendala yang ada dan meningkatkan keterbukaan informasi serta dukungan kebijakan, diharapkan daerah dapat lebih aktif berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya migas, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat