TANYAFAKTA.ID – Tak semua senang ketika harus berhemat. Inilah reaksi yang muncul dari masyarakat menyikapi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto tentang penghematan anggaran.
Keinginan untuk mengefisienkan anggaran dan mengalihkan pada program yang penting untuk masyarakat pun berulang disampaikan Presiden Prabowo hingga lahir Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Namun, setelah diimplementasikan, tak sepenuhnya berjalan mulus.
Maksud Inpres tersebut menekankan efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2025 yang ditargetkan mencapai Rp306 Triliun.
Jauh sebelum Inpres ini, bukan rahasia lagi, pemborosan anggaran kerap terjadi di instansi pemerintahan pusat hingga daerah. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merilis hasil pengawasannya terhadap anggaran pada 2023 dan menemukan belanja anggaran yang tak efektif dan efisien mencapai Rp 141,33 triliun.
Kondisi yang lahir di saat APBN defisit setiap tahunnya. Pertanyaannya, mau sampai kapan APBN kita defisitnya melebar ? membesar dan menambah hutang. Nah kebijakan efisinsi ini untuk mengurangi hal ini.
Namun, yang namanya penghematan tetap heboh, diskursus dimasyarakat menjalar. Hal yang paling terpikir dari pemotongan anggaran adalah pada program kerja yang bakal dihapus karena terbatasnya biaya. Terlepas, efektip tidak programnya, itu urusan nanti. Menolak efisiensi menjadi pasti, seolah tak peduli pemerintah kekurangan uang akibat ruang fiskal APBN yang terbatas.
Sudah pasti, ada juga kekhawatiran, secara makro ekonomi akibat kebijakan pemangkasan anggaran ini, apalagi pemotongan anggaran jika dilakukan di sektor-sektor produktif seperti infrastruktur pokok, pendidikan, dan kesehatan, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Belum lagi, meski belum terbukti, bisa menurunkan daya beli masyarakat, ketidakpastian investasi publik, minimnya penciptaan lapangan kerja, dan produktivitas tenaga kerja.
Pemerintah tentu faham akan potensi risiko dari kebijakan ini, efisiensi anggaran yang terlalu ketat dapat mempengaruhi anggaran untuk sektor-sektor sosial penting, seperti pendidikan dan kesehatan.
Tantangan besarnya, adalah, bagaimana Pemerintah harus memastikan bahwa pemotongan anggaran tidak mengorbankan sektor – sektor yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat, ini adalah tantangan besar dalam implementasinya.
Argumen – argumen diatas adalah sesuatu yang logis, meski belum tentu juga tepat.
Karena, pemerintah mendorong kebijakan efisiensi anggaran dengan tujuan mengoptimalkan penggunaan dana publik dan mengurangi defisit anggaran, langkah ini diharapkan dapat membawa dampak positif yang luas bagi perekonomian, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pengelolaan anggaran yang lebih efisien akan menciptakan efek domino yang signifikan, karena efisiensi anggaran bukan hanya soal pemotongan belanja, tetapi lebih pada alokasi dana yang lebih tepat sasaran.
Mengurangi pemborosan dan mengalihkan dana ke sektor – sektor yang lebih produktif, pemerintah dapat meningkatkan stabilitas fiskal, hal ini akan berdampak langsung pada kepercayaan pasar dan investor.
Peningkatan kepercayaan investor ini diharapkan dapat memperbaiki iklim investasi di Indonesia, yang pada gilirannya akan menurunkan biaya pinjaman dan membuka peluang baru bagi sektor swasta, efisiensi anggaran yang dilakukan secara tepat dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru.
Syaratnya tentu pemotongan anggaran harus dilakukan secara selektif, maka dampak negatif pada investasi publik, penciptaan lapangan kerja, dan produktivitas tenaga kerja dapat dihindari. Toh pemotongan dilakukan karena negara memang tak punya uang lebih.
Jika mau bicara jujur, pemotongan anggaran yang dilakukan pemerintahan Prabowo-Gibran sekarang ini memang suatu urgensi yang saat ini harus dilakukan dalam menjaga stabilitas ekonomi.
Pemotongan anggaran dalam konteks efisiensi fiskal merupakan kebijakan yang dapat dipahami, terutama dalam kondisi fiskal yang kurang sehat akibat defisit anggaran yang besar dan meningkatnya kebutuhan pembiayaan untuk program prioritas seperti program MBG dan menghindari tekanan berlebih pada utang pemerintah.
Jika belajar dari negara lain, banyak negara telah berhasil memangkas anggaran pemerintah dan meningkatkan efisiensi birokrasi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi atau layanan publik. Beberapa contoh terbaik adalah yang dilakukan oleh Swedia, Jerman dan Argentina.
Swedia melakukan reformasi anggaran dan efisiensi birokrasi pemerintah dengan mengadopsi kerangka fiskal ketat, termasuk batas pengeluaran pemerintah yang memastikan defisit anggaran tidak berulang, serta mengambil langkah-langkah mengurangi jumlah pegawai negeri sipil, mendigitalisasi layanan pemerintah, dan menerapkan prinsip Value for Money dalam pengeluaran negara.
Hal ini membuat Swedia menghasilkan output utama mengurangi rasio utang terhadap PDB dari 70 persen menjadi sekitar 35 persen dalam kurun waktu 20 tahun. Pelajaran dari keberhasilan Swedia bagi Indonesia adalah: pemangkasan anggaran harus disertai kerangka fiskal yang disiplin dan berbasis data, serta dukungan digitalisasi layanan dapat mengurangi biaya operasional birokrasi tanpa mengorbankan kualitas layanan publik.
Pelajaran yang dapat diambil bagi Indonesia adalah pemangkasan anggaran tidak hanya soal mengurangi biaya, tetapi juga memastikan pengeluaran yang benar-benar produktif, serta memberikan lebih banyak otonomi kepada daerah bisa meningkatkan efisiensi birokrasi tanpa menambah beban pemerintah pusat.
Lalu, ada juga pelajaran dari krisis inflasi dan pemotongan anggaran era Javier Milei (2023-2024) di Argentina, yang mengusung kebijakan shock therapy melalui pemotongan besar-besaran terhadap anggaran negara untuk mengatasi hiperinflasi dan defisit fiskal.
Langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintahan Javier meliputi pemotongan anggaran lebih dari 5 persen dari PDB, penghapusan subsidi energi dan transportasi, pengurangan belanja kementerian dan daerah, liberalisasi ekonomi dan deregulasi; dan menghentikan transfer dana ke provinsi.
Hasil yang diperoleh dari kebijakan ini bagi Argentina adalah inflasi turun dari 211 persen pada Desember 2023 menjadi 200 persen pada awal 2024, kemiskinan meningkat dengan 50 persen populasi hidup di bawah garis kemiskinan akibat kenaikan biaya hidup setelah subsidi dicabut, dan pasar keuangan relatif stabil, tetapi daya beli masyarakat merosot drastis.
Pelajaran bagi Indonesia dari kebijakan di Argentina adalah pemangkasan anggaran memang bisa membantu stabilitas fiskal, tetapi harus dilakukan secara bertahap untuk menghindari dampak sosial yang besar, penghapusan subsidi harus disertai dengan kebijakan mitigasi, seperti program bantuan langsung tunai atau stimulus ekonomi bagi sektor yang terkena dampak, dan apabila memangkas belanja birokrasi, harus memastikan ada strategi penciptaan lapangan kerja baru untuk menampung tenaga kerja yang terdampak.
Intinya, di usia pemerintahan Prabowo yang belum seumur jagung, kita harus yakin pemerintah melakukan pemotongan anggaran disertai dengan strategi yang jelas dalam menjaga stabilitas ekonomi. Termasuk memberi kepastian dunia usaha. Karenanya, investor dan sektor swasta perlu mendapatkan sinyal bahwa pemerintah tetap berkomitmen pada kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Efisiensi anggaran tidak hanya menjadi alat penghematan, tetapi juga sebagai upaya meningkatkan kualitas dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat. Suatu langkah penting untuk mengurangi pemborosan dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya.
Tentu saja, efisiensi anggaran dapat memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap pengangguran, tergantung pada konteks dan implementasinya. Menurut saya ada beberapa pandangan yang mendukung pernyataan bahwa efisiensi anggaran tidak membuat pengangguran baru.
Cara pandangnya adalah kita harus melihat pemotongan anggaran sebagai proses pengalokasian Sumber Daya yang Lebih Efektif. Efisiensi anggaran dapat membantu pemerintah mengalokasikan sumber daya dengan lebih efektif, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan menciptakan lapangan kerja baru.
Selain itu hal tersebut berbentuk pengurangan Biaya Operasional. Efisiensi anggaran dapat membantu perusahaan mengurangi biaya operasional, sehingga dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Pada Investasi, efisiensi anggaran dapat membantu pemerintah meningkatkan investasi dalam sektor-sektor yang strategis, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, efisiensi anggaran yang berhasil dapat mendorong penyempurnaan sektor infrastruktur. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kualitas infrastruktur yang mendukung produktivitas ekonomi, Pengurangan biaya logistik dan peningkatan konektivitas antar daerah menjadi salah satu prioritas dalam penggunaan anggaran yang lebih efisien.
Kebijakan ini harus dilakukan secara cermat dan teliti agar tidak menurunkan kapasitas ekonomi nasional dalam jangka panjang. Karena penting memastikan bahwa setiap rupiah anggaran yang tersedia digunakan dengan optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Pemerintah juga harus mengarisbawahi pentingnya fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan serta keberlanjutan dalam jangka panjang.
Dalam hal ini Teori Adaptive Efficiency yang menekankan pentingnya institusi yang fleksibel dan inovatif dalam mengelola sumber daya agar tetap relevan di tengah perubahan lingkungan.
Agar efisiensi tidak berdampak kepada pekerja, pemerintah perlu melakukan penyisiran anggaran dengan bijaksana. Misalnya, memangkas anggaran program yang tidak prioritas utama, dan memiliki tata kelola dan pendataan yang lebih cermat. Di sisi lain, sejumlah kementerian dan lembaga tidak melakukan PHK kepada pekerjanya sebagai bentuk efisiensi.
Benang merahnya, kebijakan efisiensi harus fleksibel dan mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi serta memastikan keberlanjutan layanan publik. Karena, efisiensi tak juga harus membuat orang menganggur. Meski, membuat pemerintah harus berhati – hati. !
Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat
Tinggalkan Balasan