TANYAFAKTA.ID, TEBO – PT Alam Bukit Tigapuluh (PT ABT) mengelola 38.000 hektar hutan di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, untuk mendukung kesejahteraan masyarakat. Hutan ini merupakan bagian dari Kawasan Bukit Tigapuluh, zona penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), serta Daerah Aliran Sungai Batang Hari yang penting bagi masyarakat Jambi.

Kedua blok hutan yang dikelola sebagai kawasan konsesi ABT adalah satu-satunya hutan yang tersisa untuk meredam tekanan terhadap TNBT, menjaga habitat satwa, mencegah bencana kekeringan dan banjir, serta menyediakan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar.

Sebagai pengelola konsesi, ABT wajib melakukan pengukuran dan penataan batas areal kerjanya. Proses ini dimulai dengan instruksi kerja dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), serta melibatkan pertemuan dengan pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, desa, masyarakat, dan aparat terkait. Penataan batas ABT telah dimulai dengan terbitnya Instruksi Kerja pertama pada 2016. Penataan batas pada blok 1 telah selesai pada 2017, dengan diterbitkannya berita acara Tata Batas untuk blok 1.

“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan turunannya, pengelolaan hutan negara di Indonesia memerlukan izin resmi dari pemerintah. Izin tersebut dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan, sesuai kewenangannya dalam mengatur dan mengelola kawasan hutan negara. Izin yang dikeluarkan mencakup berbagai kewajiban yang harus dipatuhi oleh pemegang izin. Hal ini mencakup aspek administrasi hingga teknis implementasi kegiatan sesuai izin yang diberikan.” Ujar Feri Irawan, kepala KPHP Tebo Barat Unit IX.

Baca juga:  Gelar Aksi Terkait Kerusakan Lingkungan Akibat Limbah Anak Perusahaannya, PT. Asian Agri Bungkam

Penataan batas ini merupakan kewajiban ABT sebagai pemegang izin konsesi kepada pemerintah sebagai pemilik kawasan hutan. Dalam menjalankan kewajibannya, Perusahaan bergerak sesuai dengan koridor aturan pemerintah, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.

Sebagai perusahaan pemegang izin, ABT tidak memiliki kewenangan untuk mengusir masyarakat. Kebijakan Perusahaan juga mengedepankan pendekatan persuasif kepada masyarakat yang mengelola lahan yang sudah terlanjur terbuka di dalam kawasan yang saat ini menjadi areal kerja ABT.

Salah satu peraturan pemerintah yang menjadi pedoman ABT adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 285 Tahun 2024 Tentang Kemitraan Konsesi Hutan dalam Entitas Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. Kebijakan ini mengatur kerja sama pemanfaatan hutan secara produktif antara pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dengan kelompok masyarakat di dalam dan/atau di sekitar areal kerja Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.

Dengan payung aturan ini, ABT mengajak masyarakat untuk bekerja sama dalam penanaman agroforestri. Perusahaan akan memberi bantuan kepada masayrakat berupa bibit sesuai dengan aturan pengelolaan hutan negara. Ajakan kerja sama ini dilakukan melalui proses persetujuan di awal tanpa paksaan (PADIATAPA/FPIC – Free Prior Inform Consent) yang menekankan bahwa kemitraan ini tanpa paksaan kepada Masyarakat.

Baca juga:  Viral ! Video Penjarahan Sawit di Lahan Sengketa PT DAS Diduga Oleh GRIB Tanjabbar

Perjuangan ABT untuk melindungi areal kerjanya juga berdasarkan kebutuhan akan habitat satwa yang semakin menyempit di Kawasan ini. Bukit Tigapuluh adalah kawasan penting bagi pelestarian satwa liar. Sebanyak 60 ribu hektar kawasan ini telah ditetapkan sebagai Koridor Hidupan Liar Datuk Gedang, Peraturan Gubernur Jambi nomor 8 tahun 2022 tentang pengelolaan kawasan ekosistem esensial koridor hidupan liar Datuk Gedang di Bentang Alam Bukit Tigapuluh Kabupaten Tebo.

Di kawasan ini, hidup lebih dari 120 gajah Sumatera, harimau, orangutan, dan satwa dilindungi lainnya. Masyarakat Talang Mamak dan suku Anak Dalam juga menjadikan kawasan ini sebagai rumah mereka. Masyarakat asli Melayu Tuo yang hidup di desa-desa sekitar turut menjadikan hutan sebagai salah satu sumber penghidupan dari hasil hutan bukan kayu yang bisa dikumpulkan.

Taufiq Hidayat, General Manager ABT, menekankan bahwa model pengelolaan hutan ABT berfokus pada perlindungan hutan dengan kesejahteraan manusia sebagai tujuan utama. Ia menyatakan bahwa hutan konsesi ABT yang lestari dapat mengurangi risiko interaksi negatif antara satwa dan manusia, menekan ancaman bencana air, serta menyediakan sumber pangan seperti ikan dan buah-buahan, serta hasil hutan bernilai ekonomi tinggi.

“Keberadaan hutan konsesi ABT sangat penting untuk mendukung kehidupan masyarakat dan lingkungan,” ujar Taufiq, menegaskan pentingnya kelestarian hutan.

Baca juga:  Kapolda Jambi Hadiri Apel Siaga Darurat Karhutla Tahun 2024

Namun, aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab dan fenomena alam telah mempersempit ruang hidup satwa liar dan manusia. Berbagai dampak dari berkurangnya tutupan hutan semakin sering dirasakan Masyarakat, mulai dari peningkatan suhu, banjir, hilangnya beberapa jenis ikan dan tumbuhan obat, hingga interaksi negative dengan satwa liar. Oleh karena itu, keberadaan ABT dan entitas dengan misi serupa diperlukan agar kawasan ini tetap terlindungi dan masyarakat tetap mendapatkan manfaat dari hutan.

Bertentangan dengan nilai penting hutan yang Lestari, laporan Eyes on the Forest (EOF) mengungkapkan adanya pembukaan lahan secara ilegal di kawasan Bukit Tigapuluh, bahkan pada kawasan hutan negara dengan fungsi sebagai Hutan Produksi. Aktivitas ilegal ini termasuk perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan yang dampaknya di kemudian hari justru menyengsarakan karena bencana yang timbul dari hilangnya hutan.

Laporan ini dipublikasikan pada 2022 dan dapat diakses melalui website EOF: https://www.eyesontheforest.or.id/reports/omnibus-law-bukan-legalisasi-otomatis-untuk-perkebunan-sawit-ilegal. Eyes on the Forest (EoF) sendiri merupakan koalisi organisasi masyarakat sipil di Riau, Sumatera, yang terdiri dari: WALHI Riau, Jikalahari “Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau” dan WWF-Indonesia. Laporan ini juga telah dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat antara EOF dan DPR-RI pada 21 Juni 2022. (*)