TANYAFAKTA.ID – Saya termasuk yang rada ngeri mendengar pidato Prabowo Subianto di penutupan Kongres Partai Amanat Nasional (PAN) tadi malam.
Alih-alih mengapresiasi gerakan pelajar dan masyarakat sipil yang sedang berlangsung di pelbagai kota di Indonesia, Prabowo malah bercerita tentang gerakan 1998. Dia menyebut gerakan 98 itu ditunggangi asing. Dia menyatakan bahwa saat itu Indonesia sudah mau tinggal di landasan, namun asing masuk intervensi dan memecah belah. Dia menyesali peristiwa 98. Tak ada nada positif pada peristiwa 98 yang berhasil menjatuhkan rezim diktator Soeharto tersebut. Yang tersirat justru penyesalan mengapa hal itu terjadi.
Indonesia sekarang, menurut dia, sudah akan tinggal di landasan lagi. Kira-kira dia menganggap sekarang ini mirip 98. Sudah mau tinggal di landasan, namun mulai diganggu. Dia mewanti-wanti agar rakyat jangan mau diadu domba. Nadanya cenderung melihat intensifikasi besar sekarang karena mau ngerecokin aja niat baik elit yang sekarang mau bersatu. Sama dengan gerakan rakyat 98, yang sekarang pun dibayangkan.
Dia ingin semua elit bersama dan bersatu. Dia menggunakan analogi warga yang bersatu mau membangun jembatan. Tapi ada sebagian warga yang tidak mau ikut berkontribusi. Secara tidak langsung, dia menonton posisi PDI Perjuangan yang tidak mau berkumpul dengan sejumlah besar pendukungnya. PDI Perjuangan dianggap tidak mau berkontribusi membangun jembatan bersama.
Di pidatonya ini, dia berkali-kali menyatakan bahwa dirinya mendapatkan mandat rakyat. Banyak orang ada di belakangnya. Dalam ruang hampa, pernyataan itu tidak bermasalah. Namun ketika dikatakan di tengah aksi protes warga, dia seolah-olah sedang mengirim pesan bahwa suara dia adalah suara rakyat. Yang di luar adalah penyimpangan belaka. Yang sedang protes di jalan dan media sosial itu hanya suara kecil dari warga yang tidak mau berkontribusi membangun jembatan tapi berisik.
Di awal pidato, dia juga menunjukkan sejumlah podcast yang membahas dirinya. Dia menyatakan orang-orang yang membicarakan dirinya itu hanya omo-mon. Sementara dirinya bekerja nyata membantu masyarakat. Dia menanggapi kritik secara negatif. Tak ada apresiasi.
Di pidatonya ini, dia membahas tentang mimpi besar mengelola kekayaan sumber daya Indonesia secara maksimal untuk kemakmuran rakyat. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun ketika dia tidak memberi apresiasi bahkan malah nyinyir pada kritik karena menganggap dirinya sedang berbuat baik itulah masalahnya. Ketika kritik dianggap ngerecokin niat atau usaha baik itulah yang bermasalah. Seorang pemimpin menjadi diktator kadang bukan karena tidak punya niat baik, tapi karena jumawa seolah kebaikan hanya ada di pihak mereka.
“Neraka penuh dengan niat dan kemauan yang baik”, kata St. Bernard dari Clairvaux. Para libertarian membahasakan ulang frase itu dengan “Jalan menuju neraka diaspal dengan niat baik.” Acapkali jalan menuju neraka dibuat dengan intensitas yang baik. Di mana-mana, diktator selalu punya klaim sedang berbuat baik. Semoga Indonesia terbebas dari pemimpin seperti itu.
Penulis : Saidiman Ahmad | Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University