TANYAFAKTA.IDDi tengah pesatnya era digital, data pribadi menjadi aset paling rentan disalahgunakan. Setiap klik, unggahan, dan transaksi daring meninggalkan jejak yang dapat dengan mudah diakses, termasuk oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah negara memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk melindungi hak warga negara atas privasi, sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang mendasar.

Hak atas privasi telah diakui sebagai bagian dari HAM oleh berbagai instrumen internasional, seperti Universal Declaration of Human Rights (Pasal 12) dan International Covenant on Civil and Political Rights (Pasal 17). Indonesia, sebagai negara yang meratifikasi ICCPR, memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan hak tersebut. Konstitusi kita pun secara eksplisit menjamin hak perlindungan diri pribadi, termasuk informasi pribadi warga negara.

Perjalanan Indonesia dalam melindungi data pribadi memang panjang. Setelah sekian lama tanpa payung hukum khusus, akhirnya pada tanggal 17 Oktober 2022, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan. Namun UU PDP ini resmi diberlakukan pada tanggal 17 Oktober 2024, setelah masa transisi dua tahun sejak diundangkan. Kehadiran UU ini adalah tonggak penting dalam penegakan HAM di sektor digital. Namun, pengesahan dan pemberlakuan saja belum cukup. Implementasi, pengawasan, dan penegakan hukum masih jadi pekerjaan rumah yang besar.

UU PDP memang sudah memberi kerangka kerja yang cukup komprehensif-menetapkan hak subjek data, kewajiban pengendali data, serta ancaman sanksi pidana dan administratif bagi pelanggar. Tapi hingga kini, lembaga pengawas independen yang diamanatkan dalam Undang-Undang tersebut belum terbentuk. Tanpa lembaga pengawas, perlindungan hak warga masih bersifat administratif dan reaktif.

Negara tak boleh hanya menjadi wasit yang pasif. Negara harus menjadi pelindung aktif yang menjamin hak digital warganya tetap utuh. Perlindungan data pribadi bukan sekadar isu teknis, tetapi cerminan komitmen terhadap HAM. Bila negara lalai, maka hak warga akan terus terancam oleh komersialisasi dan eksploitasi data.

Baca juga:  Sebelum Suara Berbicara, Kota Jambi Telah Memilih Maulana-Diza

Sudah saatnya Indonesia membuktikan bahwa negara benar-benar hadir dan bertanggung jawab dalam menjamin hak privasi sebagai hak asasi yang fundamental. Implementasi UU PDP secara serius, pembentukan lembaga pengawas independen, serta peningkatan kesadaran publik adalah langkah konkret yang harus dipercepat. Perlindungan data pribadi bukan hanya urusan keamanan digital, melainkan juga ukuran sejauh mana negara kita menghargai dan melindungi hak asasi manusia.

Di sisi lain, isu perlindungan data pribadi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk pelaku usaha, institusi pendidikan, serta sektor swasta lainnya. Dalam praktiknya, banyak perusahaan yang belum menjadikan perlindungan data pribadi sebagai prioritas utama. Padahal, data pengguna yang dikumpulkan dalam jumlah besar, jika tidak dikelola dengan aman, dapat menjadi ancaman serius terhadap hak-hak sipil dan kebebasan individu.

Kejadian kebocoran data yang marak belakangan ini memperlihatkan betapa lemahnya sistem keamanan data di Indonesia. Kasus-kasus seperti kebocoran data BPJS Kesehatan, eHAC, dan MyIndiHome menunjukkan bahwa ada kelalaian struktural dalam menjaga keamanan informasi masyarakat. Namun sayangnya, proses penanganan kasus ini seringkali tidak transparan dan tidak memberikan keadilan bagi korban. Masyarakat pun menjadi skeptis terhadap keseriusan pemerintah dan penyedia layanan dalam menjaga hak-hak digital mereka.

Selain itu, regulasi yang ada harus adaptif terhadap perkembangan teknologi. Konsep perlindungan data pribadi tidak bisa berhenti pada aspek administratif semata. Perlu pendekatan yang lebih dinamis, termasuk integrasi sistem keamanan siber yang kuat, audit teknologi secara berkala, dan penerapan prinsip-prinsip privasi secara menyeluruh sejak tahap perencanaan sistem (privacy by design). Negara juga harus aktif mendorong adopsi standar internasional dalam perlindungan data, seperti GDPR di Uni Eropa, sebagai benchmark implementasi terbaik.

Baca juga:  Grand Launching SMMPTN Tahun 2025 Resmi Dibuka, UNJA Siap Berkolaborasi Dengan 27 PTN Wilayah Barat

Bersamaan dengan itu, pemahaman aparat penegak hukum tentang pentingnya data pribadi juga perlu ditingkatkan. Masih banyak penyidik atau jaksa yang belum melihat pelanggaran data sebagai bentuk pelanggaran HAM. Tanpa kesadaran ini, penegakan hukum menjadi lemah dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Oleh karena itu, pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum dan pembentukan unit khusus cyber-law enforcement menjadi kebutuhan yang mendesak.

Pada akhirnya, hak atas privasi bukan hanya soal data yang disimpan di server, tapi soal martabat manusia. Ketika data pribadi bocor dan disalahgunakan, bukan hanya kerugian material yang dialami, tetapi juga rasa aman, rasa percaya, dan harga diri individu. Maka, menjaga data pribadi sejatinya adalah menjaga hak asasi manusia itu sendiri. Negara harus mengambil peran utama dalam melindungi ruang digital sebagai ruang yang aman, adil, dan bebas dari pelanggaran hak.

Tantangan dan Hambatan Penegakan Hukum terhadap Perlindungan Data Pribadi

Penegakan hukum terhadap perlindungan data pribadi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan kultural. Secara struktural, hingga kini Indonesia belum memiliki lembaga pengawas independen yang ditugaskan secara khusus untuk menangani perlindungan data pribadi. Ketidakhadiran lembaga ini membuat penegakan hukum berjalan tidak optimal dan kerap kali tidak memiliki kejelasan mekanisme.

Di sisi lain, aparat penegak hukum masih belum memiliki kapasitas dan kompetensi memadai dalam menangani pelanggaran data pribadi. Kasus-kasus pelanggaran yang masuk seringkali tidak dilanjutkan karena dianggap bukan pelanggaran serius, atau karena kurangnya alat bukti elektronik yang memadai. Ini menunjukkan perlunya pelatihan intensif dan unit khusus penegakan hukum siber yang memiliki pemahaman mendalam terhadap aspek teknis dan hukum dari data pribadi.

Baca juga:  Mandek 4 Tahun, BEM UNJA Gagal Fungsi

Tantangan lainnya adalah rendahnya kesadaran dan literasi masyarakat terkait hak atas privasi. Banyak warga yang tidak melaporkan kasus pelanggaran karena tidak tahu hak mereka atau ragu akan proses hukum yang berbelit. Rendahnya partisipasi publik ini, membuat banyak pelanggaran tidak terdokumentasi dan tidak terselesaikan secara hukum.

Hambatan besar lainnya datang dari pihak swasta, khususnya perusahaan digital yang belum menganggap data pribadi sebagai aset yang harus dilindungi. Beberapa masih beroperasi dengan sistem keamanan rendah dan kebijakan privasi yang tidak transparan. Penegakan hukum terhadap korporasi juga kerap terkendala karena rumitnya membuktikan unsur pelanggaran dalam ranah siber. Tanpa penanganan serius terhadap tantangan-tantangan tersebut, perlindungan data pribadi sebagai bagian dari HAM hanya akan menjadi slogan tanpa implementasi nyata.

Kesimpulan

Perlindungan data pribadi merupakan bagian integral dari hak asasi manusia, khususnya hak atas privasi yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional. Negara Indonesia memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam menjamin hak ini, melalui kebijakan, regulasi, dan tindakan nyata di era digital saat ini. Meski telah hadir UU PDP, implementasi yang belum maksimal menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.

Rekomendasi

1. Pemerintah segera membentuk lembaga pengawas perlindungan data pribadi yang independen sesuai amanat UU PDP.

2. Meningkatkan literasi digital masyarakat melalui edukasi dan kampanye publik tentang pentingnya perlindungan data pribadi.

3. Memberikan pelatihan dan pengawasan terhadap pelaku usaha digital agar mematuhi prinsip-prinsip pengelolaan data pribadi yang adil dan transparan.

4. Memastikan bahwa penegakan hukum atas pelanggaran data pribadi dilakukan secara tegas dan transparan sebagai bentuk perlindungan nyata terhadap hak warga negara.

Penulis : H. Abu Bakar, SH – Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Jambi