TANYAFAKTA.ID, – Di tengah gempita demokrasi nasional yang terus digaungkan sebagai pilar penting negara, ironi justru terjadi di akar rumputnya—di dalam kampus. Universitas Batanghari, yang seharusnya menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya intelektual muda dan pemimpin masa depan kampus yang terkenal dengan pergerakan nya, justru menyajikan potret suram: demokrasi kampus yang sekarat, bahkan nyaris mati total. Penyebab utamanya? Ketiadaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), sebuah institusi vital yang seharusnya menjadi representasi aspirasi, pengawalan kebijakan, dan ruang pembelajaran politik mahasiswa.
Ketiadaan BEM bukan sekadar persoalan administratif atau kelalaian teknis belaka. Ini adalah indikasi kuat dari matinya sistem demokrasi internal kampus. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi tentang hak bersuara, mekanisme kontrol, dan ruang partisipasi. Ketika BEM ditiadakan, maka suara kolektif mahasiswa dibungkam. Tidak ada lagi yang mampu mewakili mahasiswa dalam forum resmi, tidak ada penyeimbang terhadap kebijakan birokrasi kampus, dan yang paling parah: tidak ada ruang politik edukatif bagi mahasiswa untuk belajar mengelola perbedaan dan kepemimpinan
Lebih menyedihkan lagi, kondisi ini bukan tanpa aktor. Siapa yang diuntungkan ketika mahasiswa tidak memiliki wadah organisasi yang kuat? Dalam banyak kasus, ketakutan akan kritisisme mahasiswa sering kali membuat birokrasi kampus “nyaman” tanpa BEM. Tidak ada protes, tidak ada tuntutan transparansi anggaran, tidak ada advokasi terhadap persoalan fasilitas, kurikulum, bahkan konflik internal fakultas. Mahasiswa hanya dikondisikan menjadi objek akademik—belajar, ujian, lalu lulus. Kampus pun menjelma menjadi pabrik ijazah, bukan ruang dialektika.
Kondisi ini menempatkan mahasiswa dalam situasi apatis yang dipaksakan. Dalam sejarah gerakan mahasiswa, pembungkaman politik dimulai dengan mematikan organisasinya. Ketika BEM dibungkam atau dibiarkan vakum, maka secara otomatis demokrasi internal kampus dibunuh secara sistematis dan pelan-pelan. Ini bukan sekadar kematian kelembagaan, ini adalah pembunuhan budaya demokrasi yang seharusnya tumbuh dari kampus
Lebih tragis lagi, ini terjadi di Universitas Batanghari—salah satu institusi pendidikan tinggi tertua di Jambi. Haruskah kampus ini tercatat dalam sejarah sebagai lembaga yang gagal menghidupkan semangat demokrasi di kalangan mahasiswa? Haruskah mahasiswa Batanghari tumbuh sebagai generasi yang kehilangan pengalaman politik kampus karena tidak pernah merasakan pemilu BEM, debat kandidat, ataupun advokasi kolektif?
Ketiadaan BEM bukan masalah sederhana. Ini adalah gejala kanker demokrasi kampus yang harus segera diobati. Mahasiswa tidak boleh terus-menerus disuapi narasi pasrah. Jika demokrasi kampus mati hari ini, maka jangan harap kita akan punya generasi pemimpin masa depan yang matang secara politik dan peka terhadap isu-isu rakyat.
Maka dari itu, mahasiswa Universitas Batanghari harus bangkit. Rebut kembali ruang politik kampus. Hidupkan kembali BEM sebagai simbol perlawanan dan kontrol. Jangan biarkan kenyamanan segelintir elite kampus menjadi alasan pembungkaman sistemik terhadap suara mahasiswa.
Demokrasi kampus adalah cermin kualitas demokrasi bangsa. Jika cermin itu pecah di Batanghari, maka retaknya bisa menjalar ke mana-mana. Saatnya kita bersuara—karena diam adalah bentuk persetujuan terhadap kematian itu sendiri.
Terpinggirkan maka melawan ,Sebab penguasa tak berkawan ,ketika otoritas membentuk ruang ,maka pemberontakan adalah jalan Tuhan
Penulis : Muhammad Ferdiansyah | Mahasiswa Hukum Unbari
Tinggalkan Balasan