TANYAFAKTA.ID, KOTA JAMBI –  Direktur Jambi Business Center (JBC), Mario Liberty Siregar, menjadi sorotan usai muncul dugaan intimidasi terhadap massa aksi dari Ikatan Masyarakat Peduli Lingkungan – Kota Jambi (IMPL-KOJA) yang melakukan unjuk rasa di depan kantornya, Rabu siang (16/4/2025).

Aksi damai yang digelar oleh IMPL-KOJA bertujuan untuk menyampaikan tiga tuntutan utama terkait krisis lingkungan di Kota Jambi, khususnya banjir yang ditengarai sebagai dampak dari alih fungsi ruang terbuka hijau (RTH) di sekitar kawasan JBC. Namun situasi memanas saat massa merasa mendapat perlakuan diskriminatif dan intimidatif, termasuk dari pihak yang disebut-sebut mewakili JBC.

Mario Siregar: “Tidak Ada Intimidasi, Hanya Suara Keras”

Dikonfirmasi pada Rabu malam oleh TanyaFakta.id, Mario membantah keras tudingan bahwa dirinya telah melakukan intimidasi.

“Tidak ada intimidasi, hanya saja suara agak keras,” ujar Mario.

Tetapi Mario mengaku bukan dia yang mengeluarkan suara keras melainkan orang lain.

“Bukan saya yang bersuara keras, melainkan orang lain,” katanya.

Lebih lanjut, saat ditanya soal peranan Jefri Bintara Pardede di lokasi aksi, Mario menjawab bahwa Jefri ditunjuk oleh Komisaris JBC untuk membantu mencari solusi atas banjir.

Baca juga:  H. Bakri Kunjungi BWS Sumatera VI, Bahas Strategi Pengendalian Banjir dan Ketahanan Pangan

“Beliau diminta komisaris kami pak Syahrasaddin untuk bantu cari solusi banjir sekitar JBC,” ungkapnya.

“Kami sangat serius mencari solusi mengenai banjir sekitar JBC ini, Pak Jefri sejauh ini sangat sejalan dengan niat saya tersebut,” tambahnya lagi.

Menurutnya, suasana tegang tak terhindarkan karena aksi tersebut mengganggu aktivitas kantor. Ia mengaku para karyawan sempat panik dan berhamburan keluar akibat teriakan-teriakan menggunakan pengeras suara yang dilakukan tepat di depan pintu kantor.

“Aktivitas kantor terganggu, karyawan berhamburan keluar jadi tidak kerja karena massa aksi teriak-teriak pakai toa persis di depan kantor,” katanya.

Namun demikian, Mario menegaskan bahwa ia tidak menolak aspirasi yang disampaikan dan mengaku menghargai semangat para demonstran.

“Saya sangat menghargai aksi adik-adik tadi,” tambahnya.

Siap Berdialog, Tapi Terbuka

Mario juga menyebut dirinya bersedia untuk berdialog langsung dengan perwakilan massa dalam forum tertutup. Namun, ia mengatakan bahwa ada pihak lain yang mengarahkan agar audiensi dilakukan di ruang terbuka.

“Saya siap bicara sendirian dengan mereka bertiga, menjelaskan semua yang mereka ingin tahu. Tapi tadi diarahkan agar diskusi dilakukan secara terbuka,” jelasnya.

Baca juga:  Tuntut JBC Atas Banjir Kota Jambi, Aksi IMPL Dituding Ilegal dan Diadu Domba dengan Warga

Pernyataan ini muncul di tengah kritik bahwa forum audiensi tersebut justru berubah menjadi ajang tekanan verbal, di mana pihak massa aksi mengaku difitnah dan dipermalukan oleh beberapa orang yang hadir, termasuk oleh seseorang yang mengaku sebagai staf Kesbangpol Provinsi Jambi.

Soal KTP: Prosedur atau Penghalang?

Isu lain yang juga memancing reaksi publik adalah kebijakan pihak JBC yang meminta KTP dari massa aksi sebelum diperbolehkan melakukan dialog. Bagi sebagian peserta aksi, ini dianggap sebagai bentuk pembatasan dan diskriminasi berdasarkan asal domisili.

Menanggapi hal itu, Mario menyatakan bahwa prosedur tersebut bukan hal yang luar biasa, dan biasa dilakukan di wilayah perkantoran, terutama di kota-kota besar.

“Biasanya kalau di Jakarta, orang mau masuk kantor memang dimintai KTP,” ujarnya.

Namun, di lapangan, pernyataan dari sejumlah pihak yang membela JBC justru terdengar merendahkan. Salah satu tokoh bernama Jefri Bintara Pardede bahkan menyuruh peserta aksi untuk “ganti KTP” jika ingin berdemo di Jambi — pernyataan yang dinilai tidak mencerminkan semangat inklusivitas dan kebebasan berpendapat.

Pertanyaan Publik: Di Mana Posisi JBC?

Hingga kini, Mario Siregar belum memberikan tanggapan substantif atas isi tuntutan massa aksi, khususnya terkait dugaan alih fungsi ruang terbuka hijau dan dampaknya terhadap banjir yang terjadi di Kota Jambi.

Baca juga:  Sering Padam, Warga Madina Kecam PLN Cabang Panyabungan

” Massa aksi mengatakan bahwa peta google earth Tahun 2002 lahan JBC adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH), setau saya tahun segitu datanya belum lengkap atau bahkan belum ada,” tuturnya.

Di sisi lain, Koordinator Lapangan IMPL-KOJA, Ray Naibaho, menyebut bahwa Mario hanya memberikan penjelasan normatif dan enggan menjawab pertanyaan mendalam seputar izin pembangunan dan dampak ekologisnya.

“Kami hanya ingin mendengarkan pernyataan sikap JBC. Tapi yang kami terima justru kesan bahwa mereka defensif dan malah mengadu domba kami dengan warga sekitar,” kata Ray.

Tak hanya itu, Ray juga mengaku dilarang untuk mendokumentasikan pernyataan dari pihak yang membela JBC saat dilakukan diskusi.
“Kami sama sekali tidak diperbolehkan membuat rekaman pas diskusi tadi,” ujarnya.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan publik: apakah JBC dan direkturnya siap membuka ruang dialog terbuka dan bertanggung jawab terhadap isu lingkungan yang muncul akibat pembangunan kawasan tersebut? (Aas)