TANYAFAKTA.ID, JAMBI – Aksi damai yang digelar oleh Ikatan Masyarakat Peduli Lingkungan Kota Jambi (IMPL-KOJA) di depan kawasan Jambi Business Center (JBC), Rabu siang (16/4/2025), diduga berujung pada intimidasi verbal dan penghadangan yang mencerminkan kemunduran demokrasi di ruang publik.
Sejumlah massa aksi yang terdiri dari pemuda dan mahasiswa menyuarakan keresahan atas seringnya banjir di kawasan Kota Jambi yang diduga kuat berkaitan dengan pembangunan di area JBC.
Berdasarkan peta Google Maps yang dibawa massa, kawasan JBC ditengarai sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang secara hukum seharusnya dilindungi.
Namun alih-alih mendapat ruang untuk menyampaikan aspirasi, massa justru diadang oleh sekelompok orang yang mengklaim diri sebagai “pembela JBC”.
Salah satu di antaranya, Jefri Bintara Pardede, menyatakan massa aksi tidak memiliki “legal standing” dan meragukan kemurnian aksi tersebut. Ia bahkan mempertanyakan asal-usul para peserta aksi berdasarkan domisili KTP mereka.
“Ini Jambi, bos, bukan Bengkulu. Kalau mau demo di sini, ganti dulu KTP kalian,” ujar Jefri dalam pernyataan yang sarat nuansa diskriminatif dan bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.
Lebih jauh, dalam audiensi yang dilakukan secara tertutup di dalam kantor JBC, massa aksi tidak hanya diintervensi secara kasar, tetapi juga difitnah sebagai “massa bayaran” oleh pihak-pihak yang tidak memiliki otoritas formal, namun berupaya mendominasi diskusi.
Seorang pria bernama Mahaputra alias Fiet, yang mengaku sebagai staf Kesbangpol Provinsi Jambi, turut menyudutkan massa aksi dengan menyebut bahwa IMPL-KOJA adalah organisasi ilegal karena tidak terdaftar secara administratif.
Tudingan tersebut segera dibantah oleh Koordinator Lapangan, Ray Naibaho. Ia menegaskan bahwa perjuangan masyarakat tidak seharusnya dibatasi oleh status administratif atau asal-usul geografis.
“Apakah mencari keadilan harus sesuai dengan KTP? Ini Republik Indonesia. Keadilan adalah hak warga negara, bukan hanya pemilik KTP lokal,” tegas Ray usai keluar dari ruang audiensi.
Dalam orasinya, Ray menyampaikan tiga tuntutan utama IMPL-KOJA:
-
Pertanggungjawaban terhadap korban bencana banjir yang terdampak akibat perubahan tata guna lahan di sekitar JBC.
-
Pertanggungjawaban kepada Pemerintah Kota Jambi, yang dinilai lalai dalam pengawasan dan perizinan.
-
Pertanggungjawaban terhadap masa depan lingkungan, yang terancam akibat eksploitasi ruang terbuka hijau untuk kepentingan bisnis.
Sayangnya, ketiga poin tersebut tidak mendapat jawaban yang substansial dari pihak JBC. Massa aksi justru merasa difitnah, dihina, dan dipermalukan — sebuah perlakuan yang ironis dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi partisipasi publik dan suara rakyat.
Ray Naibaho menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap represif dan diskriminatif yang ditunjukkan oleh oknum yang mengaku sebagai perwakilan pemerintah.
“Kami datang dengan niat baik dan suara hati masyarakat. Tapi yang kami temui justru penghinaan dan pelecehan. Bahkan pihak JBC sendiri tak mampu menjawab satu pun tuntutan kami. Mereka hanya bisa ‘plonga-plongo’,” ujar Ray dengan nada kecewa.
Dia juga menegaskan, pihak JBC seperti mengadu domba massa aksi bersama warga sekitar.
“Kami hanya ingin mendengarkan pernyataan sikap dan klarifikasi dari pihak JBC, tetapi kami malah dibenturkan dengan warga yang sebenarnya korban daripada banjir itu sendiri,” pungkasnya. (*)
Tinggalkan Balasan