TANYAFAKTA.ID, JAMBI – Sejumlah pemilik media online di Provinsi Jambi kini tengah dilanda kekecewaan mendalam. Mereka tak hanya dihantui ketidakpastian finansial, tetapi juga dipaksa menghadapi kenyataan pahit bahwa kontrak kerja sama mereka dengan Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Provinsi Jambi untuk tahun 2025 diputus sepihak.
Padahal, mereka telah lama menjadi mitra pemerintah. Apa yang sebenarnya terjadi di balik keputusan mengejutkan ini?
Para pemilik media yang terdampak, yang sebelumnya menjalin hubungan kerja sama dengan Kominfo, mulai meragukan transparansi dan objektivitas dalam proses pemilihan media yang layak berkontrak.
Sebagian besar dari mereka menilai Kepala Dinas Kominfo Provinsi Jambi, Ariansyah, tak hanya gagal menjaga integritas dalam seleksi, tetapi juga dianggap mengedepankan kepentingan politik dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan kontrak tersebut.
Andika Arnoldi, pengelola media online swaranesia.com, mengungkapkan pengalaman pahitnya. Media miliknya diputus kontraknya pada pertengahan 2024, tepat saat Andika berusaha mencairkan anggaran yang telah disepakati.
Menurut Andika, pemutusan tersebut terjadi setelah ia dianggap tidak sejalan dengan kebijakan politik Gubernur Al Haris, dan bahkan diminta untuk tidak mengkritik pemerintah.
“Saya dianggap tidak mendukung program pembangunan yang dijalankan Gubernur Al Haris. Saya diminta tidak mengkritik gubernur,” ujar Andika, kesal pada Senin,(17/3/2025).
Pernyataan Andika ini semakin menguatkan dugaan bahwa kebijakan pemutusan kontrak tersebut sarat dengan kepentingan politik. Bahkan, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jambi periode 2007–2017, Mursyid Sonsang, menyebut tindakan Kominfo Provinsi Jambi sebagai “brutal” dan tidak jelas kriterianya.
Mursyid mengkritik tajam bahwa ada kesan pilih kasih dalam pemilihan media yang berhak berkerja sama. ”
Ada media yang baru muncul langsung dapat kontrak, sementara media yang lebih lama dan lebih kredibel justru dikesampingkan,” cetusnya.
Tidak hanya itu, Mursyid juga mengungkapkan bahwa sejak era Orde Baru hingga kini, kebijakan yang diambil oleh Kominfo Provinsi Jambi sangat merugikan kebebasan pers.
Menurutnya, media yang berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap pemerintahan kini dianggap sebagai musuh.
“Indeks kemerdekaan pers di Provinsi Jambi terus merosot, dan Dinas Kominfo Provinsi Jambi kini menjadi ‘monster’ yang menakutkan bagi media yang kritis,” tegas Mursyid.
Di tengah kontroversi ini, Mursyid menyarankan agar Dinas Kominfo Provinsi Jambi merujuk pada Undang-Undang Pers serta aturan dari Dewan Pers dalam menetapkan kriteria kerja sama media massa.
“Seharusnya, media yang berkerja sama dengan pemerintah harus memenuhi standar yang jelas dan transparan, seperti memiliki wartawan yang meliput di Pemprov Jambi dan bukan hanya mengandalkan rilis dari dinas,” tambahnya.
Yang lebih mencengangkan, ada beberapa media yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers, namun malah tidak diterima dalam proses kerja sama.
“Proses verifikasi Dewan Pers sangat ketat, dan jika media sudah lulus, itu seharusnya menjadi bukti kredibilitas. Namun, kenyataannya masih ada media yang tidak diperhitungkan,” kritik Mursyid.
Skandal ini mencerminkan ketidakjelasan dan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan kontrak publikasi oleh Dinas Kominfo Provinsi Jambi.
Banyak pihak yang mulai mempertanyakan apakah kebijakan ini benar-benar untuk kepentingan publik, ataukah hanya bertujuan untuk memperkuat cengkraman politik tertentu atas media. Dengan kebebasan pers yang semakin terkekang, Jambi seakan kembali ke era di mana media hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. (*)
Tinggalkan Balasan