TANYAFAKTA.ID, JAKARTA – Sebuah laporan terbaru yang dirilis  oleh Kaoem Telapak (KT) berjudul “Sonokeling in Peril: Perlindungan CITES vs Perdagangan Ilegal Rosewood Indonesia” mengungkapkan ketimpangan kritis antara regulasi perlindungan internasional dan kenyataan suram mengenai penebangan liar serta perdagangan ilegal sonokeling (Dalbergia latifolia).

Meskipun sudah terdaftar dalam Apendiks II Konvensi tentang Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (CITES) dan dikategorikan sebagai spesies rentan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), sonokeling terus menghadapi ancaman eksploitasi dari jaringan perdagangan ilegal.

Laporan ini menyoroti adanya perbedaan signifikan antara data ekspor sonokeling yang dilaporkan Indonesia kepada CITES dengan data impor yang tercatat di negara tujuan. Antara 2017 dan 2023, negara-negara pengimpor melaporkan menerima 975.191,04 m³ sonokeling, sementara Indonesia hanya melaporkan ekspor sebesar 421.648,85 m³, atau 56,76% lebih rendah dari laporan negara pengimpor.

Laporan Indonesia kepada CITES juga tercatat 38,67% lebih rendah dibandingkan dengan data ekspor yang tercatat dalam Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK), yang menunjukkan angka ekspor 683.225,25 m³ pada periode yang sama.

Baca juga:  Ditangkap PT TML Karena Ambil Brondolan, LPRA : Minim Lapangan Pekerjaan

Investigasi Menunjukkan Penyimpangan

“Perbedaan data yang signifikan ini harus diselidiki lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya, kesenjangan ini berpotensi menunjukkan adanya kayu sonokeling ilegal yang masuk dalam rantai pasokan global,” ujar Abu Meridian, Campaign Leader Kaoem Telapak dalam siaran persnya yang diterima TanyaFakta.id pada Rabu, (5/2/2024).

Seluruh pasokan sonokeling Indonesia yang beredar di pasar Tiongkok berasal dari Indonesia, diekspor dalam bentuk kayu gergajian atau papan sebagai bahan baku industri furnitur, lantai, dan veneer. Data SILK menunjukkan, antara 2014 hingga 2023, Indonesia mengekspor sekitar 1 juta m³ sonokeling ke Tiongkok, dengan volume yang berfluktuasi tiap tahunnya.

Pada tahun 2024, KT melakukan investigasi lapangan di Kabupaten Bima dan Dompu, Sumbawa, wilayah dengan potensi tegakan sonokeling yang signifikan dan sering menjadi target eksploitasi. KT menemukan dugaan pembalakan liar dan peredaran kayu sonokeling ilegal di kawasan hutan negara Toffo Rompu RTK 65 BKPH Toffo Pajo Soromandi (Topaso), dengan volume mencapai 50 m³ setiap bulannya.

Baca juga:  Puluhan Warga Desa Rantau Karya Geruduk PT Kaswari Unggul di Kota Jambi

Modus Operandi Pembalakan Ilegal

Para pelaku menebang sonokeling tanpa dokumen resmi dan izin konsesi yang sah, kemudian mengolah kayu tersebut menjadi kayu gergajian. Mereka kemudian mengklaim bahwa kayu tersebut berasal dari hutan rakyat dengan menggunakan Surat Angkutan Kayu Rakyat (SAKR) untuk memasok industri di Bima dan Dompu. Modus operandi ini menghindari penggunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK) yang diwajibkan untuk kayu dari hutan negara, memungkinkan kayu sonokeling ilegal masuk ke dalam rantai pasokan legal. Selanjutnya, industri-industri ini mengirimkan kayu ke Surabaya menggunakan nota angkutan.

Investigasi juga mengungkap adanya seorang broker besar yang mengendalikan perdagangan ilegal sonokeling antara Sumbawa dan Surabaya. Selain itu, ditemukan nota angkutan yang diduga palsu, digunakan untuk memasok perusahaan-perusahaan yang sudah bersertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

“Sistem sertifikasi SVLK, yang dirancang untuk memastikan sumber kayu yang legal dan berkelanjutan, tampaknya rentan terhadap manipulasi,” kata Abu. “Temuan kami menimbulkan kekhawatiran serius mengenai efektivitas SVLK dalam mencegah kayu ilegal memasuki rantai pasokan bersertifikat,” lanjutnya.

Baca juga:  Wamentan Bicara Food Estate dan Cetak Sawah di Rapat Koordinasi Kemenko Perekonomian

Rekomendasi KT

KT merekomendasikan agar dilakukan penyelidikan terhadap jaringan pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal di Sumbawa dengan pendekatan aliran uang, guna menangkap penerima manfaat terbesar dari kegiatan ilegal ini. KT juga mendesak pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaksanaan sertifikasi SVLK, penerapan sanksi bagi perusahaan yang melanggar, dan mendorong penerapan informasi geolokasi untuk meningkatkan ketelusuran kayu.

“Di sisi perdagangan internasional, Sekretariat CITES harus menetapkan unit pelaporan yang terstandarisasi, memastikan kepatuhan pelaporan negara-negara anggota CITES, dan melakukan penyelidikan terhadap perbedaan data perdagangan yang signifikan. Otoritas CITES di Indonesia juga perlu memperbaiki akurasi data tegakan CITES, memantau perdagangan sonokeling, serta menerapkan kuota pengambilan. Peran dan kolaborasi semua pihak sangat penting untuk menghentikan pembalakan liar dan perdagangan ilegal kayu sonokeling demi memastikan keberlanjutannya,” pungkas Abu