Sosialisasi ala KPU: Formalitas Mewah Tanpa Makna

Hayatullah Qomainy, Mahasiswa Ilmu Sosial Politik Universitas Jambi. [TanyaFakta.id/Ist]
Hayatullah Qomainy, Mahasiswa Ilmu Sosial Politik Universitas Jambi. [TanyaFakta.id/Ist]

Pemilu seharusnya menjadi ajang pendidikan politik bagi seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, dalam praktiknya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tampak lebih sibuk menyelenggarakan sosialisasi di hotel-hotel mewah ketimbang turun langsung ke masyarakat. Sebagai lembaga yang diamanahkan untuk membangun kesadaran politik, KPU tampaknya justru lebih senang menghabiskan anggaran negara dalam acara-acara seremonial yang terbatas pada elite tertentu. Sosialisasi yang dilakukan hanya formalitas semata, tanpa dampak nyata di lapangan.

Pertanyaannya, apakah rakyat yang tinggal di pedesaan dan daerah terpencil tahu tentang sosialisasi ini? Tentu tidak, karena KPU lebih memilih menyampaikan pesan-pesan politiknya di hotel berbintang, jauh dari jangkauan masyarakat luas. Kesannya, KPU juga tidak menginginkan partisipasi masyarakat. Apakah ini yang disebut sebagai tujuan demokrasi?

Baca juga:  KPU Tanjung Jabung Barat Sortir Surat Suara Kotor

Padahal, jika KPU benar-benar ingin mengedukasi masyarakat, seharusnya mereka bergerak lebih dinamis. Masyarakat di pelosok desa, kampung-kampung, hingga daerah terpencil yang jauh dari kemewahan hotel adalah mereka yang paling membutuhkan pendidikan politik. Namun, tampaknya KPU lebih sibuk dengan formalitas acara seremonial daripada benar-benar peduli pada pemahaman politik masyarakat di tingkat paling bawah.

Pendidikan politik adalah hak semua warga negara, Jika KPU tidak segera berbenah, kita hanya akan menyaksikan pemborosan anggaran yang sia-sia tanpa adanya peningkatan partisipasi atau kesadaran politik di masyarakat. Sosialisasi yang baik seharusnya inklusif, menjangkau semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang berada di daerah-daerah terpencil dan belum terpapar informasi yang memadai.

Baca juga:  DPP PDIP Desak KPU RI Tindak Lanjuti Putusan MK

KPU harus segera berbenah. Masyarakat menunggu sosialisasi yang kreatif, inklusif, dan benar-benar efektif. Jika tidak, pemilu akan terus berjalan dengan partisipasi yang rendah, dan demokrasi kita hanya akan menjadi sekadar formalitas yang hampa makna.

Penulis : Hayatullah Qomainy | Mahasiswa Ilmu Sosial Politik Universitas Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *