Mahasiswa Pasca Covid: Tak Lagi Berbeda dari Siswa? Sebuah Fakta yang Ironis

Mahasiswa Apatis [TanyaFakta.id/RuangMahasiswa]
Mahasiswa Apatis [TanyaFakta.id/RuangMahasiswa]

TANYAFAKTA.ID – Pandemi Covid-19 telah membawa perubahan besar dalam banyak aspek kehidupan, termasuk pendidikan tinggi. Mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan dan pendorong kemajuan sosial, kini sering kali tampak kehilangan arah. Banyak dari mereka berperilaku lebih mirip siswa di sekolah menengah, terjebak dalam rutinitas dan fokus pada pencapaian akademis semata, tanpa memahami peran vital mereka dalam konteks sosial yang lebih luas. Ironisnya, di saat tantangan global semakin mendesak, pergeseran ini justru menunjukkan bahwa mahasiswa pasca-Covid tidak lagi berfungsi sebagai pendorong perubahan, melainkan terjebak dalam sikap apatis yang mencolok.

Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa mahasiswa seharusnya memiliki kedudukan unik dalam masyarakat. Mereka diharapkan menjadi pemikir kritis, aktivis sosial, dan inovator yang mampu membawa gagasan baru ke dalam ranah publik. Namun, banyak mahasiswa pasca-Covid yang tampaknya terjebak dalam rutinitas pembelajaran daring dan fokus pada lulus tanpa mempertimbangkan dampak sosial dari pendidikan yang mereka jalani. Pandemi telah membatasi interaksi sosial dan diskusi kritis, sehingga menciptakan lingkungan yang tidak mendukung pembentukan karakter mahasiswa yang aktif. Ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan realitas baru ini mengakibatkan mahasiswa lebih memilih untuk menjadi konsumen informasi ketimbang produsen ide.

Selain itu, pergeseran fokus ke dalam dunia digital juga berkontribusi pada apatisme ini. Dengan pembelajaran daring yang menjadi norma baru, mahasiswa cenderung mengalami isolasi sosial. Interaksi langsung yang selama ini menjadi bagian penting dalam proses pendidikan dan diskusi politik menjadi terbatas. Mereka lebih nyaman duduk di belakang layar, mengonsumsi konten yang tidak selalu kritis, dan terjebak dalam bubble informasi yang menyenangkan. Hal ini membuat mereka kehilangan kemampuan untuk berdebat, mempertanyakan, dan terlibat dalam isu-isu sosial yang nyata. Ironisnya, di saat masyarakat membutuhkan suara mereka, banyak mahasiswa justru memilih untuk berdiam diri.

Baca juga:  Kelebihan dan Kekurangan Nikah di Usia Muda

Kondisi ini semakin diperburuk oleh kurangnya pendidikan politik dan kesadaran sosial di lingkungan kampus. Kurikulum yang cenderung berorientasi pada pencapaian akademis sering kali mengabaikan aspek-aspek penting mengenai partisipasi sosial dan politik. Banyak mahasiswa tidak pernah diajarkan untuk memahami hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara yang aktif. Ketidaktahuan ini menciptakan generasi yang tidak hanya apatis, tetapi juga tidak teredukasi tentang pentingnya keterlibatan dalam proses demokrasi. Tanpa pemahaman yang kuat tentang peran mereka dalam masyarakat, mahasiswa cenderung memilih untuk tidak berpartisipasi, membiarkan isu-isu sosial berlalu tanpa perhatian.

Selanjutnya, kita perlu mengkaji dampak dari sikap apatis ini terhadap masyarakat. Ketika mahasiswa memilih untuk tidak terlibat, mereka melewatkan kesempatan untuk mempengaruhi perubahan yang diperlukan dalam masyarakat. Banyak isu sosial yang memerlukan perhatian, seperti ketidakadilan sosial, isu lingkungan, dan hak asasi manusia, di mana suara mahasiswa seharusnya menjadi sangat penting. Namun, ketika mereka tidak berpartisipasi, suara generasi muda menjadi redup. Ini bukan hanya kegagalan individu, tetapi juga kegagalan kolektif yang akan membawa dampak jangka panjang bagi masyarakat.

Dalam konteks ini, diperlukan upaya kolaboratif untuk membangkitkan kembali kesadaran sosial di kalangan mahasiswa. Institusi pendidikan harus mengambil peran aktif dalam mendidik mahasiswa tentang pentingnya keterlibatan sosial dan politik. Kurikulum harus mencakup pendidikan civics yang mendalam, di mana mahasiswa diajarkan tidak hanya tentang teori, tetapi juga tentang praktik keterlibatan di masyarakat. Selain itu, kampus perlu menjadi ruang untuk diskusi yang sehat dan kritis, di mana mahasiswa merasa aman untuk mengekspresikan pandangan mereka dan berdebat tentang isu-isu penting.

Baca juga:  Kapitalisme Global dan Kapitalisme di Indonesia: Dampak dan Dinamika

Media sosial juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran politik. Banyak mahasiswa yang aktif di media sosial, tetapi seringkali mereka menggunakannya untuk hiburan atau konsumsi informasi yang dangkal. Dengan mengarahkan penggunaan media sosial ke isu-isu sosial dan politik, mahasiswa dapat berkontribusi dalam membangun kesadaran kolektif. Melalui kampanye daring yang informatif dan menggugah, mereka dapat menarik perhatian teman sebaya dan mendorong diskusi yang lebih bermakna.

Keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan juga merupakan langkah yang perlu diambil. Mahasiswa harus menyadari bahwa menjadi anggota organisasi tidak hanya tentang status, tetapi juga tentang peran aktif dalam membangun masyarakat. Dalam organisasi, mereka dapat belajar tentang kepemimpinan, kolaborasi, dan advokasi. Ini adalah pengalaman berharga yang dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menjadi agen perubahan yang efektif.

Akhirnya, mahasiswa perlu menyadari bahwa perubahan sosial tidak akan terjadi tanpa keterlibatan mereka. Mereka harus memahami bahwa sejarah telah menunjukkan betapa pentingnya peran mahasiswa dalam pergerakan sosial. Dari pergerakan kemerdekaan hingga reformasi, mahasiswa selalu berada di garis depan. Jika mereka tidak mengambil posisi aktif dalam mempengaruhi kebijakan dan perubahan sosial, mereka akan kehilangan kesempatan untuk meninggalkan warisan yang berarti bagi generasi mendatang.

Baca juga:  Cara Lepas dari Jeratan Pinjaman Online: Panduan Praktis untuk Memulihkan Keuangan Anda

Kesimpulannya, mahasiswa pasca-Covid seharusnya tidak lagi dianggap sebagai siswa yang apatis. Mereka memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan yang signifikan, tetapi ini hanya akan terjadi jika mereka menyadari peran mereka dalam masyarakat. Dengan pendidikan yang tepat, lingkungan yang mendukung, dan kesadaran akan tanggung jawab sosial, mahasiswa dapat bangkit dari sikap apatis dan menjadi pelopor perubahan yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Jika tidak, fakta ironis bahwa mahasiswa saat ini tak lagi berbeda dari siswa akan terus berlanjut, dan kita akan kehilangan generasi yang seharusnya menjadi pilar masa depan demokrasi.

Referensi

  1. Rahman, A. (2021). Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Era Digital. Jakarta: Pustaka Pelajar.
  2. Surya, R. (2020). Politik dan Mahasiswa: Menemukan Kembali Peran Aktif dalam Masyarakat. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan.
  3. Lembaga Penelitian Sosial dan Politik (2022). “Apatisme di Kalangan Mahasiswa: Tantangan dan Solusi”. Diakses dari LPSP.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *