TANYAFAKTA.ID, JAMBI – Sejumlah pakar hukum di Indonesia mengkritik revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan memperluas asas Dominus Litis.

Mereka menilai kebijakan ini berpotensi mengubah Kejaksaan menjadi lembaga yang terlalu berkuasa. Hal ini disebabkan karena Kejaksaan akan memiliki kewenangan yang lebih besar dalam penegakan hukum, sementara Polisi juga memiliki kewenangan yang sama dalam penyelidikan dan penyidikan.

Menurut para pakar, kewenangan Polri dalam penegakan hukum seharusnya dipertegas, bukan malah dilemahkan. Selain itu, pengawasan terhadap penyidik Polri juga perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk memastikan kualitas kerja mereka.

Menanggapi hal tersebut, Dr. Mohammad Argon, S.H., M.H., Ketua DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Jambi (versi Haris Pertama) mengatakan bahwa pembahasan tentang KUHAP merupakan hal yang sangat prinsipil dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Arqon menilai, pembahasan KUHAP yang saat ini berlangsung di DPR RI harus dilakukan secara transparan dan akomodatif. Salah satu isu utama yang menjadi perhatian publik adalah soal kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Jika sebelumnya kewenangan ini dimiliki bersama oleh Kepolisian dan Kejaksaan, kini ada wacana untuk memberikan kewenangan tersebut sepenuhnya kepada Kejaksaan.

Baca juga:  Pimpin Kota Jambi di Tahun 2025, Maulana : Tahun Momentum Kota Jambi Bahagia

“Pandangan saya, asas Dominus Litis ini jelas. Artinya, kewenangan penyelidikan, sebagai tahap awal, memang merupakan instrumen penting dalam penegakan hukum. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum yang mengutamakan keadilan restoratif, rehabilitatif, dan retroaktif dalam sistem peradilan pidana kita,” ujar Arqon dalam keterangan tertulis yang diterima TanyaFakta.id pada Selasa, (11/2/2025).

Menurutnya, pemidanaan bukanlah untuk membalas, tetapi untuk memulihkan keadaan. Oleh karena itu, penting bagi kepolisian untuk tetap memegang kewenangan dalam penyelidikan tahap awal, karena mereka terbukti memiliki keahlian dalam mengungkap kasus.

“Jika tidak, akan terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga. Untuk itu, DPR harus sangat hati-hati dalam mempertimbangkan dampak dari pasal ini,” tegasnya.

Baca juga:  Kapolda Jambi Buka Penyuluhan Hukum tentang UU No. 1 Tahun 2023 dan Penggunaan Senjata Api

Pandangan Dosen UNJA

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi (UNJA) Mochammad Farisi, S.H., LL.M., memiliki pandangan berbeda. Farisi menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana, asas Dominus Litis mengacu pada peran jaksa dalam menentukan apakah suatu perkara layak diteruskan ke pengadilan atau dihentikan, sesuai dengan Pasal 1 angka 6 KUHAP.

Meskipun polisi bertanggung jawab dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, keputusan akhir mengenai apakah suatu perkara akan diajukan ke pengadilan ada di tangan jaksa.

Namun, masalah muncul ketika terdapat perbedaan pandangan antara penyidik dan jaksa mengenai kelengkapan bukti atau pasal yang digunakan dalam perkara.

Dalam praktiknya, jaksa sering mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan petunjuk (P19) karena dianggap belum memenuhi syarat formil atau materiil untuk dilimpahkan ke pengadilan. Jika pengembalian ini terus terjadi, hal ini bisa menyebabkan ketidakpastian hukum dan memperlambat proses peradilan.

Baca juga:  Tak Punya TPS, Warga Mendalo Darat Terpaksa Buang Sampah di Pinggir Jalan

Farisi menyatakan bahwa penguatan asas Dominus Litis dalam RUU KUHAP yang memberikan peran lebih besar kepada jaksa dalam mengendalikan perkara sejak tahap penyidikan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian.

“Namun, di sisi lain, hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dengan memperjelas batasan antara penyidikan dan penuntutan,” katanya.

Potensi Tumpang Tindih Kewenangan

Farisi juga mengingatkan, jika jaksa mendapatkan peran dominan dalam pengendalian perkara sejak awal, hal ini dapat menyebabkan kebingungan dalam pembagian tugas antara polisi dan jaksa, terutama terkait siapa yang berhak menentukan langkah penyidikan tertentu.

Jika jaksa terlalu banyak campur tangan dalam penyidikan, penyidik bisa merasa independensinya terganggu karena harus selalu mengikuti arahan jaksa.

Meskipun demikian, Farisi percaya bahwa potensi tumpang tindih ini bisa diatasi jika ada mekanisme yang jelas dalam pembagian tugas antara Kejaksaan dan Kepolisian. (*)